KELUAR DARI PERANGKAP HEGEMONI BUDAYA

Manusia kini tidak hanya mengkonsumsi sesuatu yang sifatnya material saja bahkan cenderung makin rakus mengkonsumsi sesuatu yang immaterial seperti citra (image) atau simbol yang direduksi realitas ke dalam mimpi-mimpi mereka. Sesungguhnya, gaya hidup konsumeristik telah menciptakan keretakan yang dalam pada jiwa manusia.

Mengapa bisa demikian?

Cobalah sejenak kita surut dari hingar-bingar kehidupan di abad keemasan komunikasi ini. Lalu, berusahalah memaknai kehidupan. Rasakanlah betapa kecanggihan komunikasi telah memungkinkan kita melipat dunia dan meletakkannya dalam saku kita. Berkat piranti sejenis blackberry/blueberry kita mampu menembus ruang dan waktu hampir tanpa batas. Kapan saja dan di mana saja, kita dapat berkomunikasi dengan siapa saja dan dari mana saja mereka berasal. Pentas dunia begitu transparan sehingga hampir tidak ada tirai pemisah antara tabu dan bukan tabu. Kebebasan tanpa batas tersebut bukan berarti tanpa konsekuensi. Pada saat kebebasan tersebut kita genggam, maka pada saat itu pulalah gempuran nilai-nilai baru mengepung kita. Nilai-nilai yang mulanya asing bahkan bertentangan dengan yang kita sepakati selama ini lewat proses naturalisasi menjadi nilai baru yang dapat kita. Bahkan nilai-nilai tersebut membentuk jaringan makna yang kita pahami sebagai kebenaran.

Kebebasan tanpa batas tersebut bukan berarti tanpa konsekuensi. Pada saat kebebasan tersebut kita genggam, maka pada saat itu pulalah gempuran nilai-nilai baru mengepung kita. Nilai-nilai yang mulanya asing bahkan bertentangan dengan yang kita sepakati selama ini lewat proses naturalisasi menjadi nilai baru yang dapat kita. Bahkan nilai-nilai tersebut membentuk jaringan makna yang kita pahami sebagai kebenaran.

Kebenaran apa yang kita peroleh? Lalu apa yang menjadi tolok ukur dari nilai-nilai tersebut?

Kebenaran semu dari sebuah utopi yang ditangkap oleh industrialisasi media. Mereka sanagt peka membaca mimpi kita. Mimpi akan sebuah kebahagiaan, kesuksesan, kecantikan, kesehatan, prestise, gaya hidup dan status sosial. Bagaimana meraih mimpi tersebut? Sangat mudah. Jika ingin mencapai kebahagiaan harus memiliki privasi dan properti. Jika seorang wanita ingin tampak cantik dan muda, ia harus memiliki kulit putih, menggunakan produk kosmetik tertentu, dan mengkonsumsi suplemen tertentu pula. Begitu pula halnya dengan pria, jika dia ingin tampak perkasa dan percaya diri maka harus mengkonsumsi rokok produk tertentu, minum susu tertentu, dan menggunakan parfum tertentu pula.

Benarkah mereka benar-benar bahagia, cantik, atau lebih percaya diri dengan semua itu? Ya, selama mimpi-mimpi tersebut belum lepas dari alam sadar mereka. Saat kita masih dalam pengaruh candu hedonisme maka mimpi tersebut tampak seperti realita. Kita pun menganggapnya sebagai sebuah kebenaran. Persoalannya, apakah yang kita anggap sebagai kebenaran adalah kebenaran yang sejati? Fenomenon bukanlah Noumenon. Semua hanya ilusi dan mimpi kita.

Kebenaran tersebut dikonstruksi oleh sekelompok kepentingan tertentu untuk maksud tertentu melalui media. Melalui media, gaya hidup tertentu disebar dan disatukan untuk sebuah pembenaran. Idy Subandy dalam buku Hegemoni Budaya menegaskan ketika kepentingan ideologi pasar berhasil disatukan dengan dukungan media yang mengemas citra terhadap gaya hidup tertentu, maka pada saat itu kolonialisme baru dipancangkan. Kolonialisme ini dinamakan kolonialisme kesadaran.

Dengan kata lain, utopia yang dibangun lewat citra atau kesan yang ditampilkan telah menjajah akal kritis kita. Dominasi budaya materialisme, hedonisme, individualisme, dan permisifisme telah menjelma sebagai bentuk hegemoni kebudayaan.

Konsep hegemoni kebudayaan ini, pertama kali diperkenalkan oleh seorang intelektual Italia, Antonio Gramsci untuk merujuk dominasi suatu kelas sosial terhadap kelas sosial lain dalam masyarakat melalui hegemoni budaya. Hegemoni juga merupakan suatu bentuk dominasi kesadaran yang didasarkan pada kesepakatan (consent). Contoh sederhana, nikmatnya singkong goreng yang disantap dengan secangkir kopi hangat di waktu sore digantikan dengan pizza atau hamburger yang disajikan oleh pelayan yang ramah dan suasana restaurant yang menyenangkan dan dipenuhi oleh kelompok orang dengan status sosial menengah ke atas. Secara tidak langsung ingin dikatakan, kalau mau dianggap kelompok menengah atas, makanlah pizza atau hamburger dan tinggalkanlah makanan tradisionalmu. Pergilah ke resto atau cafe!

Apa yang harus kita lakukan?

Agaknya terlalu heroik jika kita ingin mengalahkan keperkasaan media yang telah menyebarkan virus negatifnya sedemikian gencar memerangkap kita. Di lain pihak, kita harus berjuang melawan virus tersebut. Apa yang dapat kita lakukan? Yang pasti, kita harus bangkit dan sadar untuk menyehatkan kembali cara berpikir yang rasional serta menajamkan kesadaran kritis kita. Pahami makna yang tersembunyi di balik pesan yang ditawarkan, jangan mudah terhipnosis. Max Weber telah mengingatkan akan kodrat manusia yang gemar menjalin makna, namun tidak jarang tersesat di dalamnya.

Sendiri dan bersama-sama, fase pencerahan ontologis harus segera dimulai agar tidak terjadi retak-retak yang dalam pada rasa, jiwa, dan nurani kita.

oleh: Mayang Sari

Tinggalkan komentar