Rokok Kretek sebagai Warisan Budaya Asli Nusantara
Rokok kretek, atau keretek atau kumeretek dan kebiasaan menghisapnya adalah warisan budaya dan masih merupakan ‘bangunan peradaban’ asli hasil kreasi dan inovasi individu-individu maupun kelompok-kelompok masyarakat di wilayah nusantara (kini dalam wilayah Indonesia) yang tak terpisahkan dari keseharian masyarakat Indonesia hingga saat ini. Meskipun kebiasaan menghisap asap tembakau bisa jadi adalah kebiasaan kalangan atas masyarakat Eropa pada abad ke-15 yang meniru kebiasaan suku-suku bangsa yang mendiami kepulauan Karibia dan daratan Amerika Tengah dan utara, namun dengan inovasi yang dikembangkan dengan kecenderungan kebudayaan lokal. Yang membedakan kebiasaan ini adalah ramuan saus dan cengkeh yang terkandung di dalam rokok kretek.
Bangsa-bangsa ini mengadopsi kebiasaan baru dengan kecenderungan budaya yang mereka miliki, seperti pernyataan Melville J. Herkovits dan Bronislaw Malinowski bahwa segala sesuatu yang berkembang di dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki masyarakat tersebut (Cultural Determinism). Kebudayaan suku-suku bangsa yang secara geografis menghuni kepulauan tropis-vulkanis yang kaya akan varietas flora dan fauna ini, secara empiris cenderung bertradisi meramu mencampurkan banyak unsur yang tersedia di alam pada apapun yang dikonsumsi untuk mendapatkan kenyamanannya dalam bertahan hidup dan berkembang. Demikian juga ketika bangsa-bangsa nusantara ini mengalami proses akulturasi dengan kebudayaan eropa meskipun melalui penetrasi kekerasan (penetration violante), sistem ekonomi; cara berperang; media berkesenian, kulinari, gaya hidup, cara berpakaian, hingga kebiasaan baru, yaitu merokok tembakau. Sehingga pemahaman budaya tidaklah harus mengarah pada adat kebiasaan yang telah berkembang pada tahap pra-sejarah, namun dalam hitungan tahun pun apabila sebuah kebiasaan yang dilakukan terus menerus, massal, dan menjadi keseharian baik individu maupun secara komunal dapat disebut sebagai kebudayaan asli suatu masyarakat.
Bagi masyarakat nusantara yang sebelumnya memiliki tradisi mengunyah pinang, tradisi menghisap tembakau adalah narkose baru yang diadiopsi dari masyarakat barat dan kemudian di’lokal’kan dengan menambahkan berbagai macam saus dan cengkeh sehingga menghasilkan produk dan adat kebiasaan yang sama sekali baru dan tidak dijumpai dimanapun termasuk di masyarakat Eropa dan pada masyarakat asli kepulauan Karibia dan daratan Amerika sebagai asal kebiasaan tersebut.
Masyarakat nusantara pun lambat laun mengadopsi kebiasaan merokok dari para bangsawan dan penjajah. Beberapa sumber sejarah menyatakan bahwa Laporan dari para utusan VOC mengisahkan bahwa Sultan Agung pun menghisap rokok menggunakan pipa. Sementara menurut sumber lokal, Babad Ing Sangkala, disebutkan bahwa para bangsawan Jawa sudah mengkonsumsi rokok tembakau pada masa pemerintahan Senopati di kerajaan Mataram Islam.
Masyarakat bawah dan priyayi mengembangkan kebiasaan menhisap rokok dengan mencampurnya dengan beberapa unsur perasa dan aroma lokal yang ada dan sudah lebih tua sejarah penggunaannya seperti misalnya uwur, klembak, menyan hingga cengkeh. Hal ini harus dimaknai sebagai awal lahirnya sebuah kebiasaan asli dan baru masyarakat nusantara. Hal ini tidak aneh dikarenakan masyarakat agraris yang sebelah kakinya telah melangkah ke dalam alam industri ini, seperti kita ketahui bersama, masih berada pada masa kesadaran mitis. Bahwa kebiasaan membakar rokok klembak, dupa, menyan hingga opium sudah menjadi salah satu hal yang ‘wajib’ bagi masyarakat dalam pelaksanaan ritual spiritual Kejawen misalnya bagi sebagian masyarakat Jawa. Sesajen berupa rokok kretek dan minuman favorit seperti kopi atau teh untuk mendoakan ketenangan bagi leluhur atau orang tua yang sudah meninggal biasa dilakukan oleh masyarakat Jawa Tengah dan Jawa timur.
Sedangkan seorang pemikir besar kebudayaan, Kuntjaraningrat menyatakan bahwa kebudayaan setidaknya berupa sandwich tiga lapisan elemen dasar sebuah masyarakat, yaitu yang pertama kompleks ide-ide, gagasan-gagasan, nilai-nilai, selera, dan peraturan-peraturan. Kedua, kompleks aktivitas kelakuan berpola dalam masyarakat, atau ritual dan adat kebiasaan. Dalam hal ini kebiasaan merokok sudah menjadi tradisi selama ratusan tahun yang biasa dilakukan ketika mereka berkumpul, ketika mereka beristirahat hingga ketika mereka membuang hajat. Ketiga, adalah kompleks bentuk fisik atau kebendaan, dalam hal ini adalah keberadaan rokok kretek dengan cengkeh dan berbagai saus itu sendiri.
Dengan demikian, tradisi merokok kretek dapat disebut sebagai adat kebiasaan, atau kebudayaan asli nusantara atau Indonesia. Hal tersebut di atas memberikan banyak asumsi, beberapa diantaranya adalah bahwa rokok kretek mungkin lebih cocok dikonsumsi di daerah kepulauan tropis. Hal yang lain adalah, bahwa bangsa-bangsa nusantara adalah bangsa yang dapat menerima kebiasaan dari luar namun bukanlah bangsa pembebek. Hal lainnya lagi adalah bangsa nusantara adalah bangsa yang inovatif dan memiliki citarasa tinggi.
Bab II
Berbiaknya Tembakau, Bahan Utama Rokok Kretek
Memang benar bahwa tembakau atau Nicotiana Tabaccum sebagai bahan baku pokok rokok kretek adalah tanaman asli benua Amerika yang ditemukan tidak sengaja oleh bangsa-bangsa Eropa pada era penaklukan sisa dunia atau sering disebut sebagai The Age of Discovery dengan semangat Gold, glory and God, setelah masa pencerahan mereka atau sering disebut sebagai masa Renaissance atau aufklarung pada paruh akhir abad ke-15. Namun perlu juga diteliti lebih lanjut, meskipun tidaklah popular dalam dunia perdagangan tembakau dunia, beberapa sumber menyatakan bahwa beberapa suku pegunungan Papua seperti suku Tapiro telah memiliki kebiasaan melinting dan mernghisap tembakau indigenous pulau Papua yang jenisnya dekat dengan spesies tembakau asli Australia, nicotiana soavelens (Onghokham dan Budiman).
Bangsa-bangsa asli benua Amerika mengkonsumsi rokok bertujuan untuk kebutuhan kesehatan seperti mengusir hawa dingin yang bias turun hingga minus 60 derajat Celcius pada musim gugur dan musim salju. Selain itu menghisap asap tembakau juga berefek menenangkan fikiran. Selain itu, menghisap rokok bersama adalah ritual simbolik dalam seremoni menggalang hubungan perdamaian antar klan, dengan menggunakan pipa dan berupa gulungan daun tembakau atau saat ini disebut sebagai cigar atau cerutu. Kebalikan dari ritual menggali kapak perang pada suku-suku yang mendiami benua Amerika utara bagian barat. Bukti-bukti terkini menyatakan bahwa tradisi penggunaan tembakau oleh suku-suku asli Amerika utara setidaknya sudah berusia 4.000 tahun.
Sejarah tembakau di Eropa dimulai pada pelayaran pertama dari empat pelayaran menuju dunia baru oleh Chistophorus Columbus yang berhasil meyakinkan Raja Ferdinand II dan Ratu Isabella dari kerajaan Spanyol untuk mendanai ekspedisi tersebut. Berangkat pada malam hari, 3 Agustus 1492 dengan armada tiga kapal, sebuah kapal besar bernama Santa María dan dua caravel yang lebih kecil, Pinta dan Santa Clara dengan tujuan menemukan ladang emas di daratan seberang. Pada pendaratan pertama di kepulauan yang dikemudian hari disebut sebagai San Salvador, atau Bahama saat ini, Luis De Torres, salah seorang awak kapal terlebih dahulu ‘menemukan’ tembakau sebagai ‘emas coklat’. Selanjutnya, setelah menemukan dan menjarah emas yang melimpah milik bangsa Maya dan Aztec, Mereka juga meniru kebiasaan mengkonsumsi rokok dan membawa benih tembakau ke benua asli mereka yaitu Eropa. Tembakau kemudian menjadi gaya hidup yang popular di negeri Spanyol, Portugis, Inggris, Perancis, hingga kekaisaran Usmaniah di Turki.
Sedangkan nama latin bagi tembakau, nicotiana didedikasikan kepada Duta Besar Perancis di pengadilan Portugis pada tahun 1560 yang bernama Jean Nicot yang mengirim obat untuk migran(sakit kepala sebelah) yang diderita oleh Ratu Catherine de Medici. Ternyata tembakau memberikan khasiat penyembuhan bagi ratu, maka dengan cepat kemudian dengan cepat menyebarlah tembakau sebagai obat ke seluruh Perancis.
Di daratan Amerika utara sendiri, tembakau menjadi kisah sukses. Seorang pendatang bernama John Rolf dan istrinya yang berdarah pribumi setempat, Pocahonta anak dari kepala suku Phowatan berhasil mengembangkan benih varietas Nicotiana Tabacum yang mereka datangkan dari pulau Bermuda di Jamestown, Virginia pada sekitar tahun 1609. varietas tersebut menggantikan nicotiana rustica, yang menjadi varietas utama di Virginia saat itu namun kurang disukai oleh pasar eropa. Mereka menanamnya dalam jumlah yang cukup besar sehingga mendatangkan profit yang luar biasa tidak hanya bagi mereka namun juga bagi para penanam lainnya. Daun tembakau bahkan sempat menjadi semacam uang atau alat tukar di sana untuk waktu yang cukup lama.
Selanjutnya, setelah kebiasaan mengkonsumsi asap tembakau berkembang di Eropa, tentu saja daun tembakau menjadi komoditi hasil alam yang menjanjikan banyak keuntungan, maka bangsa Spanyol, Portugis dan Belanda bergelombang membiakkan tanaman ini di wilayah kepulauan tropis nusantara.
Sejauh sumber yang dapat diketahui, menurut keterangan De Candolle dan kemudian muncul lagi pada buku Nusantara: History of Indonesia karangan B.H.M Vlekke, tanaman tembakau diperkenalkan di wilayah Asia ketika Spanyol membawanya ke kepulauan Filipina pada tahun 1575 dari Mexico, dan dibawa ke wilayah Nusantara pada tahun 1601. Dalam History of Java, T.S Raffless menyampaikan bahwa pada tahun 1601 kebiasaan menghisap asap tembakau sudah diperkenalkan oleh orang Belanda di pulau Jawa. Hal tersebut selaras dengan yang tertera dalam naskah kuno Jawa Babad Ing Sangkala yang menyebutkan kemunculan tembakau dan kebiasaan menghisap rokok pada tahun 1601. Pada tahun 1603, Edmund Scott, seorang Principal Agent untuk East India Company di Batam pada tahun 1603 hingga 1605, menyampaikan: “They (The Javans) due likewise take much tobacco and opium”. Hal ini menandakan bahwa penggunaan tembakau sudah meluas di wilayah Banten. Kecil kemungkinan tembakau yang dikonsumsi didatangkan dari daratan Amerika maupun daratan Eropa, mengingat tembakau sangatlah mahal untuk konsumsi orang Jawa saat itu, kemungkinan besar tanaman tembakau sudah mulai ditanam di pulau Jawa untuk kebutuhan sendiri.
Dalam waktu singkat tanaman tembakau berbiak luas di pulau ini. Nampaknya armada laut VOC (Verenidge Oost-Indische Compagnie) yang baru didirikan, menjadikan Banten sebagai lahan awal pembiakan tembakau. Dalam catatan Belanda (Rumpius) pada tahun 1650 beberapa wilayah nusantara telah berkembang perkebunan tembakau seperti di daerah Kedu, Bagelen, Malang dan Priangan. Selanjutnya, dalam kurun waktu puluhan tahun kedepan, tanaman tembakau dan mengkonsumsi tembakau dengan berbagai cara dan beraneka ramuan termasuk dalam bentuk lokal yang dikemudian hari disebut sebagai rokok kretek berkembang luas dan telah menjadi bagian dari keseharian masyarakat di wilayah nusantara.
Penanaman tembakau berkembang begitu luas dan massal berbanding lurus dengan penindasan kolonial terhadap pribumi nusantara yang semakin kejam semenjak Gubernur Jendral Raffles (1811-1816) mengeluarkan peraturan domein theory yaitu kebijakan yang intinya menyatakan bahwa seluruh wilayah tanah jajahan adalah milik kerajaan. Bagi mereka yang mendiaminya wajib menanam dan membayar pajak atas hasil buminya. Setelah kolonial Belanda kembali menjajah, peraturan tersebut berubah nama menjadi cultuurstelsel atau lebih mudah dipahami dengan istilah tanam paksa pada tahun 1830. Beleid itu berbunyi: semua tanah di negeri Hindia Belanda adalah milik Raja atau pemerintah kolonial, Sehingga semua rakyat yang mendiaminya wajib membayar pajak tanah sebesar 2/5 hasil buminya.
Selain hal tersebut di atas, masih ada berbagai aturan yang menyengsarakan kaum petani saat itu, seperti keharusan menanam sepertiga luas tanah yang dimiliki dengan tanaman-tanaman ekspor tembakau, selain seperti kopi, teh, tebu dan nira. Seluruh hasil panennya harus diserahkan kepada pemerintah kolonial. Dalam waktu singkat perkebunan-perkebunan tembakau merebak di beberapa wilayah di pulau Jawa bagian barat seperti di wilayah Bogor, Priangan, dan Cirebon. Sedangkan di bagian timur pulau berada di Kediri, Madiun, Surabaya dan Madura. Di luar pulau Jawa, tembakau ekspor juga ditanam di Ternate, kepulauan Kei, Makian, Buru, Seram, Ambon Saparua dan pulau Bali yang dalam kurun waktu dua puluh tahun kemudian pada 1850 menjadi lahan eksportir tembakau utama. Budidaya tembakau cukup berhasil dipaksakan di Klaten, Jember, Besuki dan terutama di Rembang. Bibit dari luar negeri seperti jenis Havana dan Maryland untuk ekspor ke Eropa berhasil ditanam di Distrik Jetis (sekarang Muntilan dan Temanggung) dan Probolinggo. Namun uniknya, perkebunan tembakau terbaik di dunia berorientasi ekspor berhasil dilakukan di Deli, Sumatera Utara setelah tanam Paksa berakhir pada tahun 1863. Tembakau telah menjadi sumber utama pendapatan pemerintah Hindia Belanda pada akhir abad ke 19. Pada abad selanjutnya yaitu abad ke 20 dan awal abad ke 21 ini, praktis, hasil perkebunan tembakau di Indonesia hanya cukup untuk kebutuhan domestik, yaitu industri rokok kretek!
Bab III
Pasang Surut Cengkeh, Saus Utama Kretek
Cengkeh(syzygium Aromaticum) sebagai rempah utama yang menjadikan rokok kretek berbeda dengan rokok putih, adalah tanaman asli nusantara yang telah merubah sejarah peradaban dunia. Cengkeh telah dikenal ribuan tahun sebelum masehi pada masa kerajaan Romawi Kuno, sebagai bahan berkhasiat bagi kesehatan seperti pengawet makanan serta sebagai bahan bagi terapi bagi penyakit jantung telah berniai ekonomis tinggi. Hal ini kemudian yang mendorong Vasco Da Gama, penjelajah legendaris dari Portugis mengelilingi dunia untuk menemukannya dan menempatkannya pada peta dunia saat itu. Tidaklah berlebihan apabila sementara orang menganggap sejarah rempah(cengkeh dan pala) adalah sejarah perdagangan(The Economist).
Hingga saat ini belum ada penyanggahan bagi keyakinan seorang pedagang Venesia bernama Nicolo Conti bahwa cengkeh berasal dari pulau Banda dan pulau-pulau sekitarnya. Beberapa ahli botani menyatakan bahwa cengkeh berasal dari kepulauan Maluku seperti pulau Ternate, Tidore, Makian, Moti, Weda, Maba, Bacan hingga pulau Rote di selatan. Setelah berhasil memukul mundur Portugis VOC memonopoli perdagangan cengkeh dan menghasilkan keuntungan yang luar biasa besar saat itu. Begitu strategisnya komoditi ini hingga VOC merasa perlu menempatkan markas besarnya di Ternate selama tiga periode, yaitu pada masa jabatan gubernur jendral Pieter Both(1610-1614), Gerard Reynst(1614-1615) hingga Dr. Laurens Learel(1615-1619).
Monopoli dagang dan upaya pengendalian harga cengkeh oleh VOC dilakukan dengan cara Stelsel Hongi Tocten atau pelayaran Hongi setiap tahun mulai tahun 1625 hingga 1824, berupa extirpartie atau penghancuran perkebunan cengkeh rakyat, kerja paksa, tanam paksa dan penyerahan hasil perkebunan paksa. Hal inilah yang memunculkan kesadaran awal persatuan serta perlawanan terhadap dominasi asing(baca:VOC) oleh masyarakat kaum Muslim Hitu, pasukan desertir Kristiani Ternate di Hoamal, Seram Barat, rakyat dan kerajaan Gowa serta bangsa pelaut Makassar. Persekutuan ini kemungkinan memiliki jejaring dengan perlawanan yang sudah terbentuk di Jawa, karena persekutuan tersebut dipimpin oleh Kakiali, seorang dari Hitu yang notabene adalah salah satu murid Sunan Giri. Semangat persekutuan ini kami anggap sebagai bukti bahwa nasionalisme nusantara sudah mulai terbentuk sebagai kuda hitam dengan memasuki kancah pertempuran segi tiga kekuatan dunia saat itu yaitu Portugis, Spanyol dan VOC Belanda dalam penguasaan dunia timur. Perlawanan yang lama dan berdarah-darah melahirkan pejuang-pejuang besar seperti Philip Latumahina, Anthony Rebak, Said Perintah dan Pattimura alias Thomas Matulessy.
Selama hampir dua abad VOC merajai perdagangan cengkeh, hingga keniscayaan paham liberalisme awal, melahirkan seorang Piere Poivre, penjelajah perancis yang berhasil ‘mencuri’ bibit cengkeh dari Maluku dan mengembang-biakkannya di Zanzibar, sebuah wilayah jajahan Perancis. Persaingan bebas menempatkan cengkeh Zanzibar sebagai primadona, menggeser cengkeh nusantara. Cengkeh Zanzibar konon lebih diminati karena kandungan minyaknya yang lebih rendah. Selanjutnya, The French East India Company berhasil menggusur VOC ke dalam jurang kebangkrutan sekaligus merebut monopoli perdagangan cengkeh eropa pada tahun 1798. Pada pertengahan abad XIX harga cengkeh dari Ambon-Lease cenderung melorot turun. Dan jumlah produksinya pun terus berkurang sejalan dengan penghapusan politik tanam paksa sejak 1 Januari 1864. Perkebunan dan Perdagangan Komoditi cengkeh dari nusantara porak-poranda. Hingga pada suatu saat, dilaporkan bahwa harga cengkeh Ambon menunjukkan grafik meningkat. Dan dilaporkan pula jumlah pohon cengkeh pun meningkat di afdeling Ambon dan afdeling Ternate. Fenomena apalagi kalau tidak untuk pemenuhan kebutuhan saus rempah rokok kretek. Bukti awal kebangkitan industri rokok kretek telah muncul, rokok asli Nusantara!
Bab IV
Industri Kebudayaan Kretek
Ada beberapa versi tentang lahirnya rokok kretek, namun yang jelas bahwa pada tahun 1870, sudah jamak orang memproduksi lintingan rokok kretek berskala rumahan di Kudus, jawa tengah. Rokok diproduksi layaknya industri unit rumah tangga yang tersebar hingga berjarak 24 Km dari kota Kudus seperti desa Mayong, Pecangan dan Welahan yang masuk wilayah Kabupaten Jepara. Nama H Djamhari disebut-sebut sebagai penemu dan produsen rumahan awal rokok kretek di Kudus. Hingga suatu saat seorang pengusaha lokal, M. Nitisemito memulai memproduksinya dalam skala pabrikan. Hal ini menandakan kebangkitan industri bumiputera di pulau Jawa. Bahkan saat itu peralatannya pun, misalnya alat gilingan cengkehnya berupa ragangan terbuat dari kayu jati dan mesin penggerus cengkeh terbuat dari logam, adalah hasil inovasi masyarakat setempat dan dapat dibeli di took tjengkeh, Handel Tan Khing Liep, di jalan Bitingan lama 56, Kudus. Alat giling cengkeh tersebut diproduksi dalam dua ukuran, ukuran besar mampu memproduksi 8 pikul per hari dan ukuran kecil untuk empat pikul per hari. Kesuksesan industri kretek M. Nitisemito, dengan cepat disusul oleh beberapa nama besar dalam dunia kretek.
11 PERUSAHAAN ROKOK KRETEK TERBESAR DARI KUDUS
Nama Rokok Pendiri Tahun Berdiri Produksi
Tjap Bal Tiga M. Nitisemito 1908 Berhenti
Goenoeng Kedoe M. Atmowo djojo 1910 Berhenti
NV Trio Tjoa Khang Hay 1912 Berhenti
Djangkar H Ali Asikin 1918 Berhenti
Teboe dan Tjengkeh HM Moeslich 1919 Berhenti
Garbis dan Manggis M Sirin Atmo 1922 Berhenti
Nojorono Koo Djee Siang 1932 Masih
Djambu Bol HA Ma’ruf 1937 Masih
Sukun MC Wartono 1948 Masih
Djarum Oei Wie Gwan 1951 Masih
Era industri rokok kretek di tanah Jawa telah dimulai. Puluhan pabrik rokok bermunculan dengan produksi hingga 50 juta batang per tahun dari sebuah pabrik, jumlah yang tak terkira pada saat itu. Sebuah rantai produksi komoditi tercipta mulai dari petani tembakau dan cengkeh, buruh pabrik hingga jaringan distribusi. Sebuah gambaran masyarakat yang mandiri dan lumayan sejahtera yang jarang terkuak bahwa terdapat suatu tempat pada suatu saat dalam lingkup kekuasaan penjajahan kolonial.
JUMLAH PERUSAHAAN ROKOK KRETEK DI KUDUS
Tahun Perusahaan Besar
(produksi di atas 50 juta batang/tahun) Perusahaan Sedang
(produksi 10 – 50 juta batang/ per tahun) Perusahaan Kecil
(produksi di bawah 10 juta batang/tahun) Jumlah
1924 12 16 7 35
1925 Tidak ada data Tidak ada data Tidak ada data 38
1926 Tidak ada data Tidak ada data Tidak ada data 42
1927 Tidak ada data Tidak ada data Tidak ada data 46
1928 13 26 11 50
Sumber: Budiman dan Onghokham,
Dalam perjalanannya melewati zaman perang Dunia I hingga zaman kemerdekaan terjadi gegap gempita persaingan bisnis rokok kretek antara pengusaha pribumi dan pengusaha Tionghwa. Pada awalnya pengusaha pribumi menguasai pasar, namun lama-kelamaan pengusaha tionghwa mengambil alih dominasi atas pasar. Dalam perebutan para tenaga kerja yang handal dan berkualitas dalam dunia perkretekan sebagai kunci keberhasilan dalam persaingan, para pengusaha tionghwa memberi imbalan lebih tinggi dari pengusaha pribumi. Lebih jauh, mereka juga menggunakan cara memberi ontvangen-voorscot atau panjar upah dan cara terugbetaling geleend ged atau cicilan pinjaman bagi kebutuhan hidup para pekerjanya. Ditambah lagi dengan kurangnya jam terbang pengusaha pribumi dalam medan perdagangan dibandingkan oleh etnis tionghwa, sehingga mereka tidak menggunakan media iklan untuk mensosialisasikan produknya pada konsumen dan calon konsumen. Lambat laun pasar dikuasai para pengusaha tionghwa. Pertikaian bisnis antar pengusaha tidak jarang berubah menjadi kerusuhan yang disulut oleh isu SARA(Suku, Ras dan Agama).
.
Bab V
Rokok kretek Dalam Gonjang Ganjing Abad-21
Saat ini sampailah kita pada masa yang sering disebut sebagai era globalisasi atau era neoliberalisme abad 21. Dimana kebebasan individu adalah kata kunci bagi zaman ini. Setiap orang berhak untuk menumpuk kekayaan sebanyak mungkin melalui apa yang disebut sebagai ekonomi pembangunan yang butuh modal besar bagi pertumbuhan keuntungan. Kebersamaan semakin surut digantikan persaingan bebas. Nasionalisme menyurut digantikan penanaman modal besar antar negara. Era intervensi pemerintah semakin menghilang. Dalam hal ini juga menghilangnya intervensi dalam proteksi pemerintah terhadap industri-industri domestik. Proteksi yang dimaksud seperti kuota atau hambatan kuantitatif yang membatasi impor barang; pembatasan modal asing; kontrol devisa(exchange control) dan larangan impor untuk produk-produk termasuk bagi komoditi rokok.
Sejak tahun 2004 dengan meratifikasi “Agreement Establising the World Trade Organization”, Indonesia, Indonesia menjadi salah satu anggota World Trade Organization(WTO) yang memiliki sifat mengikat secara hukum atau legally bounded. Selanjutnya Indonesia haruslah mentaati kesepakatan-kesepakatan dari WTO yang berkaitan dengan perdagangan barang maupun modal. Hal ini sering disebut sebagai liberalisasi perdagangan dan liberalisasi modal. Langkah nyata liberalisasi modal di Indonesia adalah dikeluarkannya Undang Undang Penanaman Modal, Nomor 25 tahun 2007, dimana pada Pasal 6 yang berbunyi Pemerintah memberikan perlakuan yang sama kepada semua penanam modal yang berasal dari negara manapun yang melakukan kegiatan penanaman modal di Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dengan demikian perangkat hukum ini memungkinkan modal asing masuk dalam dunia perkretekan nasional.
Memang Indonesia adalah surga bagi produsen rokok kretek, dimana 92% perokok mengkonsumsi rokok kretek. Namun, dengan adanya perangkat hokum penamanaman modal dan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor: 200/PMK.04/2008 dan turunannya berupa regulasi Bea dan Cukai yang mengharuskan semua perusahaan rokok memiliki gudang/brak berukuran minimal 200 meter persegi telah berhasil membuka peluang pencaplokkan perusahaan besar rokok kretek serta merontokkan industri kecil rokok kretek (produksi kurang dari 300 juta batang rokok per tahun) di negeri ini. Menurut Forum Masyarakat Industri Rokok Seluruh Indonesia (Formasi), jumlah produsen rokok kecil menurun drastis dari 3.000 buah menjadi 1.330 atau 55.6%.
DAMPAK PERATURAN MENTERI KEUANGAN TAHUN 2010 TERHADAP JUMLAH PERUSAHAAN ROKOK KELAS TIGA(produksi kurang dari 300 juta batang rokok per tahun)
WILAYAH/KOTA 2010 2011 2012
wilayah Kota dan Kabupaten Kediri, Jombang, Nganjuk dan Tulungagung 250 200 58
Kudus 206 145 –
Pekalongan 6 6 4
Sumber: Dari berbagai media
Di sisi lain dominasi modal asing semakin berkuasa sehingga sebagian besar keuntungan yang didapat dari tiap batang kretek yang dibakar warga Negara Indonesia harus dikirim kepada pemilik modal besar asing. Pangsa rokok di Indonesia saat ini benar-benar dikuasai oleh perusahaan asing tidak hanya produk rokok putih namun juga rokok kretek. Selain produk rokok putih mereka yang sudah menguasai 50 persen pasar rokok putih di Indonesia, PT Philip Morris Indonesia perusahaan afiliasi dari Phillip Morris Inc. juga telah mengakuisisi kepemilikan saham PT. HM. Sampoerna Tbk perusahaan rokok kretek milik keluarga Sampoerna atau Lim Seeng Tee dari Surabaya sebesar 98,18% pada bulan Mei 2005. Pembelian termasuk jaringan distribusi, penyediaan bahan, penyediaan jasa, lisensi, dan pembiayaan. Mereka berani membeli saham seharga 45 triliun Rupiah dengan berbagai alasan yang menguntungkan seperti time to market yang lebih cepat dari pada apabila mereka melakukan kerja brand building. Selanjutnya mereka dapat menghindari entry barrier karena langsung mendapatkan segala perijinan regulasi dan brand equity.
Sedangkan BAT masih menguasai saham Bentoel sebesar 85,55% meskipun setelah menjual sebagian sahamnya kepada UBS AG London Branch, perusahaan asing yang lain pada 25 Agustus 2011. Sebelumnya British American Tobacco menguasai 99,74% kepemilikan Bentoel setelah mengambil alih 85,13 persen saham Bentoel Internasional Investama dari PT Rajawali Corpora dan para pemegang saham lainnya senilai US$494 juta pada juni 2009. Tidak hanya di tingkatan saham, bahkan dalam tingkatan struktur kunci direksi pun posisi strategis diisi oleh pihak asing. Direktur utama Bentoel Internasional Investama dijabat oleh Jeremy Pike, dan Chief Financial Officer(CFO) dijabat oleh Andre Joubert sebagai perwakilan dari BAT.
Penguasa Pasar Rokok Di Indonesia 2009
Nama Perusahaan Rokok Penguasaan Pasar Sejak Triwulan I 2008
PT. HM Sampoerna 24,3% Turun 25%
PT. Gudang Garam TBK 21,1% Turun 22,5%
PT. Djarum 19,4% Naik 19,4%
Nojorono 6,7% Naik 6,4%
Bentoel 6% Naik 5,7%
Phillip Morris Indonesia 4,7% Naik 2,5%
BAT Indonesia 2% Turun 2,5%
Lain-lain 15,8% Naik 15,6%
Sumber: Bursa Efek Jakarta per kuartal I 2009
Selain itu, perdagangan bebas saat ini benar-benar sudah disiapkan untuk kepentingan kekuatan modal besar dunia untuk menguasai pasar domestik dimanapun di penjuru bumi. Setelah perang dunia pertama berakhir, Persatuan Bangsa-bangsa(PBB) seolah menjadi regulator dunia bagi semua peri kehidupan umat manusia termasuk dalam hal kesehatan. Pada tahun 2005, WHO (World Health Organization), badan kesehatan PBB mengeluarkan Framework Convention on Tobacco Control(FCTC) atau konvensi pengendalian tembakau, konvensi internasional bagi kesehatan yang pertama. Konvensi ini disinyalir adalah agenda global perusahaan raksasa Farmasi Bloomberg sayap usaha dari holding company, Bloomber LP yang bertujuan untuk mengurangi penggunaan tembakau dan mendorong penghentian penggunaan tembakau dan meningkatkan penjualan obat-obatan penyembuh gangguan kesehatan diakibatkan kegiatan merokok. Menurut majalah Forbes edisi Maret 2009, Michael Bloomber, sang pemilik memiliki kekayaan sebesar 16 milyar dollar, dan menjadi orang tersukses di amerika pada masa krisis moneter saat ini, kekayaan tersebut termasuk dari penjualan obat-obat penghenti merokok.
Sejak tahun 2002, Bloomberg Philanthropies telah mengeluarkan dana lebih dari US$600. juta atau sekitar Rp. 5,4 triliun kepada berbagai pihak di dalam dan di luar negeri Amerika termasuk di Indonesia untuk kampanye memerangi penggunaan tembakau. Di Indonesia dana tersebut dibagikan kepada Departemen Kesehatan, berbagai Lembaga swadaya Masyarakat(LSM), organisasi massa, perguruan tinggi, lebih jauh disinyalir juga telah diterima oleh oknum apparatus negara dari tingkat pusat hingga daerah. Salah satu bukti adalah lahirnya PP 109/2012, dan beberapa Perda Anti rokok di beberapa kabupaten seperti Dinas Kesehatan Kota Bogor, Dinas Kesehatan Propinsi Bali, dan Direktorat Pengendalian Penyakit Menular, Depkes. Hal ini semakin meredupkan masa depan rokok kretek.
Saat ini(3/2013), sudah 174 negara meratifikasi konvensi tersebut. Indonesia, telah meratifikasi beberapa poin seperti pengurangan dan pembatasan iklan rokok serta pembuatan area khusus perokok, namun belum sepenuhnya meratifikasi semua poin dalam konvensi tersebut mengingat betapa besar dampak sosial ekonomi budaya bagi bangsa pengembang tradisi kretek ini. Namun nampaknya melalui beberapa pihak di pemerintahan, tidak lama lagi Indonesia akan sepenuhnya tunduk terhadap konvensi usulan Negara amerika serikat tersebut. Seperti apa yang disampaikan oleh anggota legislatif, Wakil Ketua Komisi IX dari Fraksi Partai Demokrat, Nova Riyanti Yusuf pada sebuah media massa nasional: “Indonesia mesti segera menandatangani dan merevisi konvensi tersebut..” Sedangkan dari pihak eksekutif pemerintahan, Ibu Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi menyatakan hal yang serupa. Kelahiran Peraturan Pemerintah (PP) No. 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif menunjukkan keseriusan pemerintah untuk cepat atau lambat akan meratifikasi seluruh poin konvensi FCTC.
Sedangkan banyak Negara besar dan maju justru berkebijakan melindungi industri tembakau dan pasar rokok dalam negerinya. Ambil contoh Negara Amerika Serikat sebagai promotor FCTC belum juga meratifikasinya. Negara ini telah mensubsidi industri tembakau dalam negerinya dari tahun 1995 hingga 2010 sebesar $US 1.138.558.705. Bahkan dengan disahkannya Pasal 907 (a) (1) (A) “Family Smoking Prevention and Tobacco Control Act” atau Tobacco Control Act) oleh Presiden Obama pada tanggal 22 Juni 2009, bermakna bahwa Amerika serikat melarang impor rokok beraroma dan perasa (flavored cigarettes) termasuk rokok kretek dari Indonesia, namun anehnya rokok beraroma menthol produk dalam negeri mereka masih dijial bebas. Aksi diskriminatif sepihak pemerintah amerika serikat tersebut membuat Indonesia berhenti mengekspor rokok kretek ke negara tersebut sebanyak 267.308.800 batang atau US$ 6,451 juta. Perlindungan terhadap pertanian tembakau dan pasar domestik rokok dengan berbagai cara juga dilakukan oleh Negara China, India, Jepang dan Uni Eropa.
PERLINDUNGAN TIGA NEGARA BESAR PRODUSEN TERHADAP INDUSTRI TEMBAKAUNYA
NEGARA BADAN NEGARA KEBIJAKAN BENTUK PERLINDUNGAN
China State Tobacco Monopoly Administration(STMA) • The Law of The People’s Republic of China on Tobacco Monopoly • Tariff barrier(65%)
• Keharusan lisensi impor
India Tobacco Board • Kebijakan Kontrol Pemerintah terhadap Perdagangan Tembakau • Penetapan Harga domestik dan harga ekspor minimum
• Subsidi pertanian tembakau
• Pinjaman modal petani
Amerika Serikat United States Department of Agriculture(USDA) • Tobacco Price Support Program(Bantuan Harga)
• Family Smoking Prevention and Tobacco Control Act • Berbagai bentuk subsidi tembakau
• Dana promosi ekspor, penelitian, produksi dan pengolahan tembakau
• Non-tariff barrier (hambatan non-tarif produk tembakau impor)
• Belum meratifikasi FCTC
Dari table di atas nampak bahwa, meski dalam alam neoliberalisasi yang digembar-gemborkan, negara-negara besar dan maju dalam bidang ekonomi tetap memproteksi dan memberi bantuan terhadap pasar dalam negerinya dan mensubsidi produk dalam negerinya demi kesejahteraan warganya serta mengintervensi kesepakatan internasional demi kepentingan modal yang berasal dari negaranya. Di sisi lain, mereka mendesak negara berkembang untuk mentaati kesepakatan-kesepakatan internasional untuk telanjang dari proteksi dan subsidi, baik melalui World Trade Organization(WTO), maupun melalui badan-badan di Persatuan Bangsa Bangsa(PBB). Sangat ironis dan mengundang tanda tanya besar apabila, Negara produsen dan pasar rokok termasuk rokok kretek sebesar Indonesia dengan naifnya tunduk mengikuti kesepakatan kesepakatan-kesepakatan yang ada tanpa menimbang kepentingan-kepentingan warga negaranya.
Bab VI.
Jawaban Budaya
Indonesia sebagai bangsa yang mandiri tentu saja selayaknya bersikap arif dalam penanganan perihal rokok kretek yang notabene merupakan bentuk warisan budaya bangsa yang masih hidup serta menjadi identitas bangsa. Karenanya, dengan meniadakan salah satu bentuk budaya yang terlanjur mengakar ini, pemerintah telah mengingkari serta melanggar hak-hak asasi manusia warganya dalam hak ekonomi, hak social dan hak budaya. Dikarenakan banyak adat kebiasaan hingga ritual kepercayaan masyarakat akan terganggu.
Maka, menurut hemat kami, pemerintah Indonesia harus mengambil langkah-langkah sebagai berikut:
Pertama, dalam hal sosial budaya, pemerintah harus memberikan perlindungan serta penghargaan terhadap keberadaan budaya kretek dalam kaitannya sebagai salah satu bentuk ritual budaya serta memiliki sejarah panjang pembentuk kesadaran nasionalisme. Dalam hal kebijakan anggaran, pemerintah harus segera merubah prosentase yang proporsional dalam peningkatan kualitas bahan baku, yakni pembuatan sekolah atau rumah sakit ‘keretek’ yang didapat dari Penggunaan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT) sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 20/PMK/07/2009 Tentang Perubahan PMK 84/PMK/07 2008.
Kedua, pemerintah harus memberi perlindungan terhadap praktek pengkonsumsian rokok kretek dengan benar-benar membuat area bebas merokok yang proporsional. Hal yang lain adalah memastikan bahwa perokok juga memiliki akses yang sama dalam pemenuhan pengobatan gangguan kesehatan yang diakibatkan oleh pengkonsumsian tembakau dengan gangguan kesehatan lainnya dalam program Jaminan Kesehatan Masyarakat(Jamkesmas).
Ketiga, dalam medan ekonomi, Pemerintah sebaiknya member perlindungan terhadap industri pertanian tembakau dan industri rokok kretek nasional dari masuknya modal asing yang berlebihan serta melindungi pasar rokok kretek domestik dengan melakukan beberapa cara dengan langkah tariff barriers dan non-tariff barriers sebagaimana ngara-negara maju lakukan. Lebih jauh, pemerintah yang didukung masyarakat luas harus terus melakukan gugatan Indonesia terhadap aksi sepihak pemerintah Amerika dengan kebijakan diskriminatif Tobacco Control Act dalam poin pelarangan impor rokok kretek Indonesia pada pasar Amerika Di Dispute Settlement Body (DSB) WTO. Lebih jauh, dalam hal perekonomian nasional, pemerintah diharap bijaksana dalam penanganan industri rokok yang menghidupi lebih dari 10 juta pekerja yang hidup darinya dan industri rokok merupakan industri prioritas nasional penyumbang cukai tidak kurang dari 70 triliun rupiah per tahun bagi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara(APBN).
Daftar Pustaka:
Website
• http://bisnis.news.viva.co.id/news/read/245422-bat-lepas-sebagian-saham-di-bentoel
• http://agneskurniawan.wordpress.com/2009/03/26/sampoerna-welcome-to-marlboro-country/
• Tradisi dan Kebudayaan Masyarakat, http://rumah-blog-baca.blogspot.com/2011/07/tradisi-dan-kebudayaan-masyarakat.html
• http://indiependen.com/kpk-harus-usut-kaki-tangan-bloomberg/
• http://m.tribunnews.com/2012/12/02/iklan-selamatkan-indonesia-dan-kaum-sekolahan
• Asap Rokok Kretek Bisa Juga Menyehatkan, Prof. Sutiman Bambang Sumitro, D.Sc (Pakar Nanobiologi Univ. Brawijaya): http://khotimfauzi.blogspot.com/2012/10/asap-rokok-kretek-bisa-juga-menyehatkan.html
• http://regional.kompas.com/read/2011/08/01/2118342/Panen.Tembakau.Pabrik.Rokok.Gulung.Tikar
• Sejarah Kretek, http://ruangnusantarakata.blogspot.com/2012/06/sejarah-kretek.html
• Pemerintah Kurang Perhatikan Hak Ekosob, http://z.tabloidjubi.com/index.php/2012-10-23-00-07-55/akar-sagu/8104-pemerintah-kurang-perhatikan-hak-ekosob-
• International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights, http://en.wikipedia.org/wiki/International_Covenant_on_Economic,_Social_and_Cultural_Rights#Right_t
_participation_in_cultural_life
Buku
• Imam Budhi Santosa, Ngudud, Cara Orang Jawa Menikmati Hidup, Manasuka, 2012
• Herjuno Ndaru Kinasih, Rika Febriani, Sulistyoningsih, Tembakau, Negara, Dan Keserakahan Modal Asing, Indonesia berdikari, 2012.
• Abhisam DM, Hasriadi Aey, Miranda Harlan, Membunuh Indonesia, Katakata, 2012
• Bernard HM. Vekke, Nusantara, A history of Indonesia, 1961
• M.C. Ricklefs, A History of Modern Indonesia since1200, 2001
• Buchari, Melacak Sejarah Kuno Indonesia Lewat Prasasti, KPG, 2012
• Robert W Hefner, Geger tengger, Perubahan Sosial Dan Perkelahian Politik, LKis,1999
• Mattulada; Kebudayaan Kemanusiaan dan Lingkungan Hidup; Hasanuddin University Press, 1997
• Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, Rajawali Pers, 1982